KTT Kepegawaian Kepala Teknik Tambang Pihak Perusahan Tambang Harus Pekerjaan di Sumbar dan bayar gaji yang tinggi




Status   KTT     Kepegawaian Kepala Teknik Tambang

Pertanyaan

Kepala Teknik Tambang (KTT) merupakan pemegang jabatan tertinggi di pertambangan, yang di antaranya bertugas dan bertanggung jawab dalam penandatanganan kontrak tertentu. Apakah KTT diperbolehkan bekerja dengan status kontrak atau PKWTT   ?    Mohon arahannya.

Ulasan Lengkap


Tentang Status Kerja

Tenaga kerja dengan status kontrak atau tenaga kerja kontrak adalah istilah sehari-hari yang ditemui dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Kebalikannya disebut pekerja tetap. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengenal istilah pekerja kontrak sebagai pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”). Sedangkan pekerja tetap disebut sebagai pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”).

 

Mana yang lebih baik antara status tenaga kerja kontrak atau tenaga kerja tetap, masih menimbulkan perdebatan. Untuk para pekerja dengan keahlian tertentu, banyak yang memilih bekerja dengan status kontrak. Dengan status kontrak, mereka berpikir ada batas waktu tertentu untuk bekerja. Jika kontrak akan habis, dia dapat berunding ulang tentang besaran upah dan fasilitas-fasilitas baru yang akan dia dapatkan di dalam kontrak yang baru. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan gaji dan tawaran fasilitas yang lebih bagus, dia akan memilih pekerjaan di tempat lain yang menjanjikan gaji yang lebih tinggi dan fasilitas yang lebih baik. Mereka tidak khawatir tentang gaji pensiun karena mereka sudah mengikuti program asuransi pensiun dengan jumlah pembayaran premi yang besar.  

Tetapi perlu diingat bahwa kesepakatan para pihak yang merupakan prinsip utama suatu perjanjian, juga berlaku di dalam perjanjian kerja.[2] Dengan demikian, sepanjang kedua belah pihak sepakat, status kerja dengan sistem pekerja kontrak maupun dengan sistem pekerja tetap adalah sama baiknya.

 

Kepala Teknik Tambang (KTT)

Bagi dunia pertambangan, Kepala Teknik Tambang (“KTT”) adalah salah satu jenis pekerjaan yang sangat dikenal.

 

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

 

Bidang pertambangan itulah yang membutuhkan para tenaga kerja untuk bekerja. Salah satunya adalah pekerjaan dengan jabatan atau tugas sebagai KTT.

 

Definisi KTT diatur dalam Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara. KTT adalah seseorang yang memiliki posisi tertinggi dalam struktur organisasi lapangan pertambangan yang memimpin dan bertanggung jawab atas terlaksananya operasional pertambangan sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik.

 

Rincian tugas dan tanggung jawab KTT sendiri dapat ditemukan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik (“KEPMEN ESDM 1827/2018”). Tugas dan tanggung jawab KTT terdiri atas:[3]

membuat peraturan internal perusahaan mengenai penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik;

mengangkat pengawas operasional dan pengawas teknis;

mengesahkan Penanggung Jawab Operasional (“PJO”);

melakukan evaluasi kinerja PJO;

memastikan semua perusahaan jasa pertambangan yang beroperasi di bawahnya memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

menerapkan standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

dan seterusnya.

 

Status Pekerjaan KTT

Jabatan atau kedudukan KTT itu memang sangat tinggi. Tetapi setinggi-tingginya kedudukannya, tetap saja yang mendudukinya adalah seorang atau beberapa orang pekerja yang otomatis terikat kepada UU Ketenagakerjaan.

 

Kembali kepada status pekerjaan KTT di atas, apakah dibuat dengan status PKWT atau PKWTT, diserahkan kepada kesepakatan antara KTT sebagai pekerja dengan perusahaan yang mempekerjakannya.

 

Namun dalam memilih status kerja tersebut hendaknya diperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai PKWT. PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:[4]

pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun;

pekerjaan yang bersifat musiman; atau

pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

 

PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. PKWT juga dapat diperpanjang atau diperbaharui. PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat   diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.[5]

 

Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama tujuh hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama dua tahun.[6]

 

PKWT yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas demi hukum menjadi PKWTT.[7] Namun demikian, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 (hal. 53) telah menyatakan bahwa frasa “demi hukum” dalam ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagkerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:

Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan

Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

 

Kesimpulan

Status KTT sebagai pekerja kontrak atau pekerja tetap tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu KTT sebagai pekerja (buruh) dengan pengusaha pertambangan. Dalam hal ini, keduanya perlu memerhatikan syarat-syarat PKWT, seperti jangka waktu dan sifat pekerjaan.

 

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara;

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827 K/30/MEM/2018 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik.

 


[1] Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[2] Pasal 52 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan

[3] Lampiran I KEPMEN ESDM 1827/2018, hal. 12-14

[4] Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[5] Pasal 59 ayat (2), (3) dan (4) UU Ketenagakerjaan

[6] Pasal 59 ayat (5) dan (6) UU Ketenagakerjaan

[7] Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan.


** Afridon

 




Posting Komentar

0 Komentar