Risman Purba, S.E., M.A.P., C.Fr.A |
Desa merupakan wilayah pembagian administrasi di bawah kecamatan yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala desa sebagai penanggung jawab pemerintahan sekaligus penanggungjwab keuangan di desa. Untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan di desa, seorang Kepala Desa juga dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan beberapa Kepala Seksi dan Kepala Urusan serta seorang Bendahara Desa, dimana biasanya jabatan Bendahara Desa dirangkap oleh Kepala Urusan Keuangan.
Untuk mendorong percepatan pembangunan sampai ke tingkat desa, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana ke Desa yang disebut dengan Dana Desa, dimana dari tahun ke tahun dananya terus meningkat dan ditargetkan nantinya setiap Desa akan dialokasikan minimal sampai dengan sebesar Rp2.000.000.000,00
Namun besarnya dana tersebut, tidak didukung sumber daya dan tata kelola yang baik, sehingga berpotensi terjadinya kecurangan (fraud) atau tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara.
Dibawah ini akan dipaparkan beberap modus tindak pidana korupsi yang sering terjadi di desa:
Ketekoran Kas
Ketekoran kas adalah suatu kondisi dimana ketika dilakukan pemeriksaan kas, ternyata saldo kas menurut catatan tidak sama dengan kas yang ada di bank dan kas tunai yang ada ditangan Bendahara Desa.
Ada beberapa hal penyebabnya antara lain, dimanfaatkan oleh Bendahara Desa untuk kepentingan pribadi, dimanfaatkan oleh Kepala Desa untuk kepentingan pribadi atau penyebab lainnya seperti kelebihan bayar oleh Bendahara Desa. Dalam hal terjadi ketekoran kas, maka pihak yang paling bertanggung jawab berdasarkan tugas pokok dan fungsinya adalah Bendahara Desa.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mendeteksinya dengan cara melakukan pemeriksaan kas, dengan cara melakukan penutupan kas, kemudian menghitung fisik uang yang berasa di tangan Bendahara Desa dan melihat saldo kas di bank melalui rekening koran per tanggal pemeriksaan. Selanjutnya membandingkan antara saldo kas (tunai dan bank) dengan saldo kas menurut Buku Kas Umum.
Pengeluaran Fiktif
Pengeluaran fiktif adalah pengeluaran kas yang tidak ada kegiatannya ataupun fisiknya. Kejadian seperti ini biasanya terjadi pada kegiatan pengadaan alat tulis kantor, perjalanan dinas ataupun kegiatan dan pengadaannya tidak mudah untuk dipantau oleh masyarakat desa.
Ada dua niat untuk melakukannya, yakni untuk menutupi biaya-biaya lainnya yang tersedia anggarannya, padahal kegiatan tersebut sangat dibutuhkan untuk mencapai visi dan misi Kepala Desa. Sedangkan satu lagi niatnya adalah untuk kepentingan pribadi Kepala Desa dan aparatnya
Untuk mengetahui apakah pengeluaran kas tersebut fiktif atau tidak dengan cara melakukan klarifikasi dan konfirmasi kepada pihak-pihak yang ada dalam bukti-bukti pertanggungjawaban apakah bukti-bukti pertanggung jawaban tersebut benar dikeluarkan dan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Pengadaan Barang dan Jasa Dikerjakan Sendiri oleh Kepala Desa
Kejadian seperti yang sangat sering terjadi di Desa, yakni untuk pengadaan baik pengadaan barang dan konstruksi, dilaksanakan sendiri oleh Kepala Desa, seolah-olah Kepala Desa adalah rekanannya.
Adapun modusnya, biasanya Kepala Desa meminta kepada Bendahara Desa untuk membuat bukti formil serah terima uang dari Bendahara Desa kepada Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan disertai dengan foto dokumentasi penyerahan seluruh uang kegiatan tersebut dari Bendara Desa kepada TPK. Kemudian seluruh uang tersebut diminta kembali oleh Kepala Desa untuk dikerjakannya sendiri. Selanjutnya Kepala Desa menyerahkan untuk pembayaran pajak sebesar 11,5% kepada Bendahara Desa, yakni 10% untuk PPN dan 1,5% untuk PPh-22. Selanjutnya Kepala Desa meminta kepada TPK untuk mempersiapkan bukti-bukti pertanggung jawaban yang jumlah totalnya sama dengan jumlah yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
Selanjutnya Kepala Desa akan menunjuk sendiri orang yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut, dan sudah tentu harganya jauh dibawah uang yang diterimanya, sehingga dampaknya pekerjaan tidak selesai ataupun selesai tetapi dengan kualitas yang rendah
Untuk membuktikan kejadian ini, maka langkah pertama yang dilakukan adalah meminta bukti-bukti fisik pengadaan baik bukti dokumentasi ataupun melakukan pemeriksaan fisik. Kemudian melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti pertanggung jawaban dan melakukan klarifikasi kepada pihak-pihak yang ada dalam dokumen serta meminta nilai sebenarnya dari bukti-bukti pertanggung jawaban. Jika dari verifikasi dan klarifikasi dapat dihitung nilai pekerjaan yang sebenarnya maka tidak perlu meminta tenaga ahli fisik konstruksi, namun jika tidak dapat dihitung, maka meminta bantuan dari ahli fisik konstruksi untuk menilai fisik yang terpasang.
Penggelapan Pajak
Dari jumlah pajak yang disetor oleh Kepala Desa kepada Bendahara Desa (sebesar 11,5%), tentunya nilai sebenarnya yang dibayarkan oleh Bendahara Desa ke Kas Negara adalah sesuai dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dan dapat dilihat dari Surat Setoran Pajak (SSP). Biasanya dari 11,5% yang disetorkan oleh Kepala Desa, nilai yang disetorkan ke Kas Negara oleh Bendahara Desa lebih kecil jumlahnya. Biasanya kelebihan tersebut dimanfaatkan oleh Bendahara Desa untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak cukup atau tidak tersedia anggarannya, ataupun untuk kepentingan pribadi dari Bendahara Desa.
Untuk membuktikan kejadian ini, maka dipastikan lebih dahulu bahwa Bendahara Desa menerima dana sebesar 11,5% dari Kepala Desa, kemudian membandingkannya dengan dengan jumlah seteoran ke Kas Negara berdasarkan bukti SSP.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk kepentingan Kepala Desa dan kroninya
Sesuai dengan Permendes dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 dinyatakan bahwa tujuan BUMDes adalah untuk meningkatkan perekonomian desa, meningkatakan usaha masyarakat dan meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa.
Namun kenyataannya, keberadaan BUMDes jauh dari tujuan seperti tersebut di atas, namun bertujuan untuk kepentingan Kepala Desa dan kroninya. Contohnya, di suatu desa BUMDes berencana akan membuat usaha kolam pemancingan, dimana dalam waktu yang sama Kepala Desa secara pribadi juga sedang membuat usaha kolam pemancingan juga. Maka dalam tahap pembangunan sebagian material yang diperuntukkan untuk pembangunan kolam pemancingan BUMDes dibawa untuk membangun kolam pemancingan pribadi Kepala Desa. Begitu juga setelah kolam pemancingan selesai dan berjalan, maka sebagian bibit ikan dan pakan untuk kolam pemancingan BUMDes dibawa ke kolam pemancingan pribadi Kepala Desa.
Pendapat Asli Desa dari Sewa Aset dikuasai oleh Kepala Desa
Beberapa desa yang telah maju seperti di pulau Jawa telah memiliki aset berupa tanah dan bangunan rumah toko (ruko) yag disewakan kepada pihak ketiga. Biasanya setelah pelantikan, seorang Kepala Desa akan menulusuri aset desa berupa tanah dan bangunan yang disewakan kepada pihak ketiga. Selanjutnya Kepala Desa meminta agar memperpanjang masa sewa tanah dan ruko tersebut selama 6 tahun sesuai dengan periode jabatannya yang disesuaikan dengan kontrak sewa sebelumnya. Namun uang sewa tersebut tidak disetorkan ke Kas Desa, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi Kepala Desa.
Untuk mengetahui hal ini, langkah awal yang dilakukan adalah memverifikasi aset tanah dan bangunan yang disewakan kepada pihak ketiga serta melihat bukti-bukti apakah uang sewa telah diterima Desa dan telah disetorkan ke Kas Desa. Selanjutnya melakuka klarifikasi dan konfirmasi kepada pihak penyewa, serta menanyakan masa sewanya dan berapa nilai sewa yang dibayarkannya. Selanjutnya dibandingkan apakah jumlah sewa yang disetorkan ke Kas Desa telah sama dengan nilai sewa yang disetorkan oleh penyewa.
Dari beberapa modus kasus korups tersebut diatas disebabkan lemahnya integritas yakni wibawa nilai-nilai kejujuran dari Kepala Desa dan aparatnya, sehingga setiap orang tidak takut dan segan untuk melakukan korupsi. Bahkan korupsi tersebut dimotori sendiri oleh Kepala Desa, sehingga hancurlah nilai-nilai dan wibawa kejujuran tersebut. Disamping itu, lemahnya kompetensi aparat desa yakni kepala seksi maupun kepala urusan dalam melakukan tata kelola keuangan, sehingga setiap pengeluaran tidak dapat dipertanggungjawabkan secara baik.
Adapun penyebabnya lainnya adalah lemahnya pengawasan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) dan Inspketorat Kabupaten / Kota selaku OPD yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan. Adapun kendala dalam melakukan pengawasan adalah lokasi desa yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten, sehingga susah di akses secara langsung maupun secara online.
Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah membuat dua aplikasi yakni aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) dan aplikasi Sistem Pengawasan Keuangan Desa (Siswaskeudes).
Aplikasi Siskeudes adalah aplikasi yang berfungsi sebagai aplikasi tata kelola keuangan desa yang dimulai dari perencanaan dan penganggaran, penatatusahaan dan pelaporan yang bermanfaat untuk mempermudah pengelola keuangan desa serta mempermudah DPMN dalam melakukan pengawasan APBDes. Apalagi saat ini sedangkan dikembangkan aplikasi Siskeudes Online, sehingga setiap transaksi di desa dalam hitungan detik sudah dapat diakses di DPMN.
Aplikasi Siswaskeudes, adalah aplikasi pengawasan keuangan desa yang digunakan oleh Inspektorat Kabupaten / Kota, dimana dengan menggunakan aplikasi ini, aparat pengawas dari Inspektorat sudah dapat mengakses seluruh database transaksi keuangan di desa melalui aplikasi Siskeudes, sehingga memudahkan dalam melakukan perencanaan pengawasan berbasis risiko.
Adapun kendala implementasi aplikasi Siskeudes dan Siswaskeudes adalah belum adanya komitmen dari Pemerintah Kabupaten / Kota untuk mengimplementasikannya, dan hal ini terlihat belum tersedianya kegiatan dan anggaran yang memadadi untuk mengimplementasikannya, terutama untuk Siskeudes online.
** Afridon
0 Komentar