Waka Polres Pariaman Kompol Jon Hendri |
Pariaman, Editor – Kalaulah Almarhum Juardi yang akrab disapa Celek masih hidup, tentu ia akan bangga melihat anak keenam dari tujuh orang bersaudara buah cintanya dengan Almh Minar, bisa sukses meraih gemintang dengan gemilang bersama seragam Kepolisian berpangkat Komisaris Polisi (Kompol), yang merupakan perwira menengah tingkat satu di Polri. Tak hanya sukses mencapai pangkat Kompol, jabatan sebagai Wakil Kepala Kepolisian Resor (Waka Polres) Pariaman pun dipercayakan pada sang putra.
Bahkan sang buah hati yang terlahir pada 14 Juli 1973 dan diberi nama Jon Hendri itu tak hanya sukses meniti karir di Kepolisian. Ia pun tumbuh menjadi seorang petani sukses, yang mampu mengelola lahan tidur seluas 15 hektar menjadi lahan produktif di Batu Basa, Nagari III Koto Aur Malintang, Kecamatan IV Koto Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman.
Lahan pertanian seluas 15 hektar itu dibagi menjadi beberapa bagian, 7 hektar ditanami pepaya madu, 6 hektar ditanami sawit, dan 1,5 hektar ditanami durian dan kelapa.
Ketika Jon Hendri ditanya apa yang menjadi kunci suksesnya, ia pun menjawab dengan kata yang sarat makna : memberi adalah jalan menerima, manusia tak akan pernah menuai tanpa menabur.
“Pesan itulah yang kerap disampaikan almarhum ayah saya ketika saya masih kecil. Saat itu ayah mengatakan selama engkau memegang prinsip itu dalam hidup, In Sya Allah akan menuai sukses,” kata Jon Hendri
Berbekal prinsip hidup dari sang ayah itulah Jon Hendri menjalani hari-harinya. Ia justeru tumbuh menjadi remaja yang penuh ambisi mengenai masa depan dan tak pernah enggan membantu sesama manusia, meski pun itu hanya sekedar membantu tenaga.
Semesta pun bergerak, realitas pun berubah, ternyata pengalaman masa lampau memberi warna pada pandangan dan sikap hidup Jon Hendri, yang akhirnya mengantarkannya pada “arus agung” dalam mengangkat marwah keluarga, karena ia meyakini bahwa sesungguhnya hidup itu adalah iktiar dan doa
Bagi Jon Hendri, cinta dan kasih sayangnya pada ayah bundanya pun tak bisa diungkap hanya melalui kata-kata belaka. Sang ayah baginya adalah “malaikat” yang sangat mencintai dirinya dan selalu mendengar apa yang ia katakan, bahkan bisa memahami apa yang belum ia katakan. Ia pun tahu bahwa hati si ayah juga akan senantiasa memeluknya selamanya, meski tak pernah ia perlihatkan dalam sikap dan perbuatan yang manja.
Sejenak Jon Hendri terdiam saat di Temui Awak Media ia pun menengadah, sesekali ia menundukkan kepala sambil menyeka mata.
Manakala suami dari Ensih Zelfina (39 tahun) serta ayah dari Arfa Faiza Syahendri (15 tahun) dan Zafran Faiza Syahendri (8 tahun) ini kembali mencoba membolak-balik kenangan masa silamnya, tiba-tiba ia terlihat hanyut hingga ke luar batas dinding kendali diri. Kemudian, mengendap dan menyatu dalam kata-kata yang bisu. Sejenak ia pun terdiam lalu menghela nafas panjang, pertanda rasa sedih tengah meliputi dirinya.
Mata Jon Hendri pun terlihat terlihat menerawang seolah sedang menjemput kenangan yang pernah dilalui bersama sang ayah yang sangat ia cintai.
“Ayah saya bernama Juardi, tapi ia sering dipanggil oleh orang kampung dengan sapaan Celek, karena beliau memang buta sejak lahir,” kata Johon Hendri mengenang.
Meski ayah yang sangat dicintai dan dihormatinya itu tak mengenyam pendidikan layaknya orang normal, namun Jon Hendri mengaku sangat bangga memiliki ayah yang dipanggil orang kampungnya dengan sebutan Celek tersebut.
“Ayah saya memang orang kampung dan tidak memiliki pendidikan formal, namun beliau selalu membekali diri anak-anaknya dengan petuah-petuah bijak dan nilai-nilai agama untuk bekal dalam mengarungi kehidupan dunia yang tak pernah kenal tawar menawar,” kata Jon Hendri yang mulai terlihat sabak mengenang kehidupan masa kecilnya.
Jon Hendri mengaku selalu teringat pesan ayahnya ; “Hidup ini adalah pilihan yang diputuskan. Jika tak ingin terlihat bodoh, jangan lakukan hal yang bodoh.
“Ayah saya juga sering mengingatkan anak-anaknya ; bahwa apa yang kita tabur itulah yang dituai. Manusia tak akan pernah menuai tanpa menabur. Jika yang kita tanam padi maka tidak akan pernah tumbuh ilalang,” ujar Jon Hendri.
Jhon Hendri pun masih terbayang manakala ayahnya selalu mengingatkan bahwa pendidikan merupakan senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk merubah dunia. Karena itulah kata dia, meski kedua orang tuanya hanya petani, namun itu tak dijadikan alasan untuk tidak “memburu” pendidikan sebagai bekal kehidupan.
Sebagai anak yang berbakti pada kedua orang tua, Jon Hendri muda pun tak mau terlena dan tenggelam dalam euforia masa-masa remajanya. Ia pun tak pula hendak menyembunyikan keadaan bahwa sebagai anak petani dari keluarga miskin, dirinya mengalami kesulitan ekonomi untuk sekolah. Karena itulah kata dia, semenjak sekolah dasar (SD) hingga SMA VII Koto Sungai Sariak, ia sudah mulai banting tulang membantu orang tua berjualan kelapa.
Bahkan hingga ia berangkat remaja dan memasuki masa pubertas, serta mulai timbul rasa suka pada lawan jenisnya, dirinya tidak pernah malu untuk membantu orang tuanya berjualan buah kelapa.
“Ketika masih SD saya memanggul lelapa sambil menuntun ayah yang buta menuju pasar dengan berjalan kaki sekitar 3 kilometer. Namun semenjak tahun 1986 hingga saya tamat SMA tahun 1993, saya mulai memanfaatkan pedati yang saya bawa sendiri dalam berjualan kelapa,” kata Jon Hendri.
Manakala melangkah setapak lagi, begitu menamatkan pedidikan di VII Koto Sungai Sariak, Johon Hendri melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB).
Meski kehidupan ekonomi keluarganya kurang memadai kala itu dan pendakian hidup yang dilalui terasa tinggi, tajam dan berliku, namun hal itu tidak dijadikan alasan untuk tidak “memburu” pendidikan tinggi serta menyalahkan takdir dan larut dalam hidup tanpa cita-cita.
Yang pasti tujuan kuliah bagi Jon Hendri saat itu bukan hanya sekedar berburu status sebagai mahasiswa belaka. Ia sangat menyadari bahwa dengan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi wawasan dan ilmu pengetahuan akan semakin bertambah. Karena itulah ia tak ragu meninggalkan kampung halamannya, dan hidup di rantau, Kota Padang, untuk menggenggam cita-cita dan demi mengangkat marwah keluarga atau mambangkik batang tarandam.
Setelah menamatkan pendikan di Fakultas Hukum UMSB tahun 1999, Jon Hendri pun berusaha melamar pekerjaan ke sana ke mari, sampai pada akhirnya pada tahun 2021 ia dinyatakan lulus menjadi Perwira Polisi Sumber Sarjana (PPSS).
Namun sayang katanya, sang ayah tak sempat melihat dirinya lulus sebagai Perwira Polsi, karena sang ayah telah terlebih dulu dipanggil Allah Azza Wajjala tahun 1999, pergi bukan untuk semata saja, tapi pergi untuk selamanya.
Ia masih bersyukur karena sang ibu masih sempat menyaksikan dirinya hingga berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) dengan jabatan sebagai Kapolsek Lubuk Basung, Polres Agam.
“Alhamdulillah ibu saya sempat melihat anak dari keluarga miskin ternyata bisa menjadi Perwira Polisi. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh almarhum ayah dan ibu saya. Beliau meninggal tahun 2008, saat itu saya menjabat sebagai Kapolsek Lubuk Basung,” ujar Jon Hendri.
DARI PERTANIAN BISA MENGHASILKAN RP60 JUTA PERBULAN
Bak merangkuh dayung, dua – tiga pulau terlampaui, begitulah realita kehidupan yang dilalui Kompol Jon Hendri, SH. Meski ia berasal dari keluarga miskin, namun ia tak mau hidup bagai merangkuh perahu dari tiang tenggelam dan terancam gelombang serta letih berkepanjangan.
Selama menjalani kehidupan itu pulalah, ia berupaya menjalankan apa yang dipesankan almarhum ayahnya ; “bahwa apa yang kita tabur itulah yang dituai. Manusia tak akan pernah menuai tanpa menabur. Jika yang kita tanam padi maka tidak akan pernah tumbuh ilalang”.
Berbekal petuah sang ayah itulah Jon Hendri tak hendak berdiam diri sambil menikmati hasil sebagai Perwira Polisi. Ia pun tak mau melakukan rutinitas biasa, tapi lebih sekedar dari itu, ia pun mampu melahirkan berbagai inovasi dan kreasi yang lebih baik.
Berawal tahun 2010 lalu, ia berupaya mencoba mengolah lahan tidur di kampungnya di Batu Basa, Nagari III Koto Aur Malintang. Sejengkal demi sejengkal lahan tidur ditanaminya dengan bibit pepaya madu. Berkat kesungguhannya, lahan tidur itu akhirnya menjelma menjadi produktis, dan kini luasnya telah mencapai 15 hektar, yang dibagi menjadi beberapa bagian, 7 hektar ditanami pepaya madu, 6 hektar ditanami sawit, dan 1,5 hektar ditanami durian serta kelapa.
Ia tak pernah malu memasarkan langsung pepaya hasil ladangnya itu ke hotol-hotel yang ada di Kota Padang. Bahkan hasil ladangnya itu kerap pula dibawa dengan mobilnya ke kantor, yang dijual dengan cara kejujuran. Artinya, orang dipersilahkan mengambil sendiri dan membayar sendiri pepaya madu itu pada tempat yang telah disiapkan.
Dari lahan pertanian 7 hektar yang ditanami pepaya madu sebanyak 7.000 batang itu Jon Hendri mampu mempekerjakan pegawai tetap yang berasal dari masyarakat sekitar sebanyak empat kepala keluarga (KK) serta 7 sampai 8 orang pekerja lepas.
Hasil yang panen yang diraihnya juga cukup luar bisa, mencapai Rp60 juta lebih perbulannya. Karena itulah setiap ada kesempatan ia mengimbau masyarakat agar jangan enggan menjadi petani, karena katanya petani adalah pekerjaan mulia dan begitu penting bagi kehidupan manusia.
“Petani adalah sebuah profesi atau pekerjaan yang begitu penting bagi kehidupan manusia. Namun di suatu titik, sudah tidak banyak lagi pemuda di masa millennial yang bercita-cita menjadi petani. Karenya saya selalu mengimbau agar jangan malu untuk menjadi petani,” kata Jon Hendri.
Bahkan kata Jon Hendri dengan melakoni pekerjaan sebagai petani itu pulalah ia selaksa terpetik bunga kemboja, karena kehidupan ekonominya pun mulai membaik. Ia pun sudah mulai berada dalam sebuah ruang yang memberikannya ketenangan.
Dari apa yang telah dimilikinya, Jon Hendri selain mampu membangunkan rumah untuk keluarga besarnya, ia juga mampu membangun toko dan pertashop, yaitu sebuah SPBU mini resmi bekerja sama dengan Pertamina, dimana harga BBM yang dijual di pertashop sama dengan SPBU Pertamina Reguler.
Rumah kediaman yang dibangun Kompol Jon Hendri dia areal ladangnya.
Kendati begitu Jon Hendri tak lantas lupa diri, namun ia terus tumbuh menjadi pribadi yang tak obahnya bagai tongkat di siang hari dan menjadi penerang di malam gulita bagi keluarga besarnya dan masyarakat di kampung halamannya.
Tak hanya itu, diam-diam ia bahkan telah menyiapkan tanahnya untuk dibangun sebanyak 20 kapling rumah bagi masyarakat yang belum memiliki rumah.
Tanah itu kata Jon Hendri diberikan gratis untuk masyarakat, bukan hanya untuk masyarakat di Padang Pariaman saja, tapi bisa diperoleh oleh masyarakat daerah lain di Sumatera Barat. Namun dengan syarat tanah itu langsung dibangun rumah dan bukan untuk investasi. Selanjutnya tanah yang sudah dibangun rumah tersebut bisa dibuatkan serfikatnya atas nama pribadi.
Jon Hendri mengaku tak pernah takut untuk memberi apa yang telah ia miliki, karena ia sangat yakin dengan petuah ayahnya ; “memberi adalah jalan menerima, manusia tak akan pernah menuai tanpa menabur”
**
0 Komentar