Berlomba-lomba Membalak Hutan Sipora

 

Berlombalomba Membalak Hutan Sipora Ribuan balok kayu di longpon Berkat, Desa Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara


 Mentawai, Editor  —Habitat primata di Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai terancam karena ada tujuh hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah III Pekanbaru. 

SIPUHH adalah sistem informasi berbasis web yang digunakan sebagai sarana pencatatan dan pelaporan secara elektronik dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.

Kepala Seksi Perencanaan BPHP Wilayah III Pekanbaru, Ruslan Hamid menjelaskan  hak akses SIPUHH bukan perizinan namun hak akses yang diberikan kepada pemilik lahan untuk penatausahaan hasil hutan kayu.

“Hak akses SIPUHH dapat diberikan setelah pemohon melengkapi persyaratan yang sangat rigid termasuk adanya rekomendasi dari Bupati dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) yang didaftarkan ke Dinas Lingkungan Hidup setempat,” Ruslan kepada  wartawan Editor  melalui telepon pada pertengahan Juli lalu.

Menurut Ruslan, areal lokasi tujuh akses SIPUHH itu tidak berada dalam kawasan hutan baik hutan produksi, hutan konservasi maupun hutan lindung namun fungsinya adalah APL (Areal Penggunaan Lain). “Jadi status penguasaannya ini sesuai dengan peraturan yang terbaru PP 8 KLHK tahun 2021 yang merupakan turunan dari PP 23 dan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja,” terangya

Selain tujuh hak akses SIPUHH yang sudah dikeluarkan, ada delapan lagi yang sedang mengajukan, tiga diantaranya di Sipora dan sisanya di Pagai Selatan. Semua pengajuan berada di APL dimana sesuai dengan peraturan menteri izinnya adalah atas hak yang bersangkutan, penguasaan yang bersangkutan, dan itu harus diketahui oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. 

“Jadi karena di Sumatera Barat itu jarang penguasaannya secara personal, biasanya komunal. Makanya segala sesuatunya itu saya meminta harus jelas. Yang pertama dikuasakan kepada siapa, itu harus tertera atau didaftarkan ke notaris, setelah itu harus ada penjelasan dari BPN yang menyebutkan kalau lahan itu adalah benar hak milik,” bebernya

Terkait dengan kelestarian lingkungan, pemohon  harus menyertakan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), sesuai Undang-Undang Cipta Kerja, dan semua peraturan di bawahnya. 

Untuk perlindungan lingkungan di areal penebangan termasuk bahwa hutan menjadi habitat primate, menurut Ruslan pihaknya telah meminta partisipasi aktif Bupati Mentawai untuk memperhatikan yang terjadi di lapangan dan tindak lanjutnya setelah pemanfaatan kayu dilakukan.

Ruslan menambahkan Pemda Mentawai dan  DPRD Mentawai sudah pernah bertemu dengan pihaknya. “Sudah kita jelaskan semuanya dan mereka tidak ada masalah, yang penting saya bilang jangan sampai ada hak-hak siapapun yang tercederai di sana. Maksudnya begini, kenapa kita harus jelas dari BPN itu supaya jangan sampai ada masyarakat yang mungkin lahan dia, lalu diajukan oleh pemegang hutan hak ini,” ujarnya

Kemudian diminta rekomendasi Bupati karena disana ada potensi penerimaan negara, dari pemanfaatan kayu tumbuh alami. Makanya hak akses ini diberikan adalah agar hak-hak negara bisa dipungut dari situ. “Itu kan hutannya tumbuh alami, bukan ditanam atau dibudidayakan. Jadi sebenarnya APL ini nggak ranah kami lagi, karena itu sudah masuk ke ranahnya Kementerian Agrarian dan Tata Ruang. Tapi tegakan yang ada hutannya itu potensinya itu harus dia bayar ke negara. Ada hak negara di situ yang harus dipungut, makanya hak akses itu penting. Jadi kalau kayunya mereka tumbangkan nggak masalah sepanjang tidak dibawa keluar. Kalau dibawa ke luar harus dijelaskan kepada para pihak bahwa ini kayu dari mana,” jelas Ruslan 

Luasan hak akses SIPUHH juga dibatasi hanya 50 hektar. “Makanya untuk Aser Sababalat itu ada  beberapa SIPUHH, biar lebih mudah pengendaliannya,” kata Ruslan.

Untuk pengawasan pelaksanaan SIPUHH dilakukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHK) Mentawai, terutama agar jangan merambah ke kawasan hutan, jelas Ruslan.

Sementara Aser Sababalat  67 Tahun  yang mendapatkan lima hak akses SIPUHH di Sipora Utara mengaku semua lokasi SIPUHH itu tidak berada di tanah milik klannya Sababalat karena mendapat penolakan. 

Dia menceritakan, saat tim survei melakukan pengukuran, terlanjur mengukur hingga tanah milik Salmon yang bersebelahan dengan tanah Sababalat. Karena Sababalat menolak hutannya ditebang maka akhirnya hak akses berada di tanah Salmon, meskipun diatasnamakan Aser.

“Sehingga surat atas nama saya dengan tanda tangan saya namun Salmon yang mengambil hasilnya, dengan kesepakatan kebai abelangan babarangan sakit rokotta, beri kepala dusun juga dia katakan. (kalau sudah cair uangnya akan kasih uang beli rokok kita), tapi sampai saat ini tidak ada kasih uang sama saya,”  terang 

Tak hanya tanah Salmon saja yang mengatasnamakan Aser tapi tanah warga Berimanua juga atas nama Aser. “Lantaran ada masalah jadi tidak digarap lahan saya (48 hektar), tapi yang digarap sekarang adalah tanah Salmon, dan tanah-tanah warga Berimanua,” ungkapnya.

Untuk harga kayu balok sendiri berkisar di level Rp70 ribu seperti meranti dan kruing, sementara kayu campuran di bawah Rp70 ribu. “Ini kita lakukan karena kebutuhan ekonomi saat ini,” katanya

Beda yang dialami oleh Aser Sabalalat beda juga dengan masalah pada klan/kaum Jasa Samangilailai yang merupakan warga Desa Saureinu. 

Kepala Desa Saureinuk, Tirjelius Taikatubut Oinan mengatakan persoalan dialami saat dirinya belum menjadi kepala desa. Saat itu masih suasana pemilihan kepala desa, dirinya didatangi penjabat kades yang mengatakan bahwa kaum Samangilailai ingin memberi kuasa kepada Jasa Samangilailai untuk pengurusan SIPUHH. Saat itu Tirje mengaku menyarankan agar pj kades tidak memberikan rekomendasi karena itu tanah kaum. Namun karena kaum mendesak tetap dikuasakan kepada Jasa, maka akhirnya penjabat kades memberikan rekomendasi. 

Setelah Tirje kini menjadi kepala desa muncul persoalan, kaum samangilailai menyesal telah mengkuasakan tanahnya kepada Jasa karena ternyata lahanya sigarap perusahaan. “Saya menyarankan agar masalah ini diselesaikan kaumnya lalu diselesaikan di Uma Saureinuk,” kata Tirjelius kepada Mentawaikita.com pada 22 Juni lalu, 

Jasa Samangilailai merupakan warga Saureinu. Tanah yang diberi kuasa kepemilikan itu berada di perbatasan SP2 Desa Sidomakmur, luasnya kalau dihitung-hitung mereka ada 200 sampai 300 hektar tapi dalam surat melebihi mungkin ada 500 hektar kurang lebih. “Kita sudah komunikasi di Uma Lembaga Adat Saureinu, tapi lembaga adat tidak tahu masalah kaum Samangilailai,” terang 

Tirje menambahkan, kawasan SIPUHH ini tidak masuk dalam Kawasan hutan adat seluas 5.586,80 hektar yang telah ditetapkan Kemenhut. “Dulu hutan adat itu hutan produksi menjadi hutan Areal Penggunaan Lain (APL).

Penebangan kayu di hutan Berkat Desa Tuapeijat termasuk di SP 3 Bukit Pamewa berdampak pada kerusakan hulu sungai. “Kalau hujan maka akan banjir di Saureinu, air pun menjadi keruh dan berwarna kemerahan padahal sungai itu sumber air warga,” kata Tirje.

Sekira 1.509 jiwa warga Saureinu menurut Tirje menjadi korban dampak kerusakan hutan di hulu sungai. Dampak lain adalah pengurangan pendapatan ekonomi masyarakat yang menjual toek atau ulat kayu (Bactronophorus sp). Ulat ini berada di pohon yang dibusukkan di dalam sungai Saureinu. Toek ini menjadi salah satu kuliner popular asal Saureinu.

“Kayu jenis tumung direndam dalam sungai beberapa bulan sampai menghasilkan ulat kayu yang kemudian menjadi makanan warga, itu laris dijual satu batang kayu dengan ukuran satu meter saja bisa Rp50 ribu sampai Rp200 ribu tergantung ukuran diameter kayunya,”  terang Tirje.

Untuk mengatasi ini, Tirje bersama kepala desa Bukit Pamewa sudah berkomunikasi. “Kita akan mencari solusi bersama untuk


**

Posting Komentar

0 Komentar