Di Sini Suku Minangkabau Berasal





Banyak situs bersejarah yang ditemukan di Nagari Tuo Pariangan.


Matahari sudah meninggi ketika saya sampai di pintu gerbang menuju Nagari Pariangan, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Sebuah nagari subur yang dipercaya sebagai tempat asal usul etnis Minangkabau.


Dari Kota Batusangkar, Pariangan hanya berjarak sekitar 14 kilometer arah ke kota Padang Panjang. Jarak tersebut terasa sangat dekat ditempuh karena sepanjang perjalanan, mata kita dimanjakan oleh pemandangan alam yang menghijau.


Memasuki Nagari Pariangan, setelah melewati pintu gerbang di pinggir jalan, kita bisa merasakan suasana yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Sumbar. Kesan tradisional dan tua daerah ini sangat kental.


Nagari Tuo Pariangan terletak di lereng Gunung Merapi, dengan ketinggian hingga 700 meter di atas permukaan laut. Karena berada di daerah ketinggian, udaranya terasa sejuk.


Jalan masuk ke daerah ini kecil dan mendaki, agak sulit berjalan jika dua kendaraan berpapasan. Di kiri-kanan jalan, banyak terlihat bangunan rumah gadang yang sudah tua, warna dinding kayunya menghitam.


Gunung Merapi


Suasana pedesaan terasa sangat kental. Ketika kami menanyakan arah ke surau tua dan pemandian air hangat, seorang bapak tua menjelaskan panjang lebar tentang desanya. Dia begitu fasih bercerita mengenai Pariangan. Saya sampai sungkan untuk permisi setelah hampir lima menit mendengar ceritanya.


Banyak penduduk begitu saja menjemur kulit kayu manis di pinggir jalan. Daerah ini memang penghasil kayu manis. Tadinya, saya khawatir mereka akan marah jika diminta menyingkirkan jemuran nya, karena mobil kami tak bisa lewat. Dugaan saya salah. Seorang ibu paruh baya, sambil tersenyum ramah, mengangkut kayu-kayu itu sampai mobil kami lewat.


Kendaraan kami juga teradang dengan padi yang dijemur di atas tikar di tengah jalan. Lagi-lagi, seorang ibu tua mempersilakan mobil tetap jalan dan melindas padinya. “Tak apa Nak, lindas saja,” katanya sambil tersenyum. Adegan yang tak akan pernah saya jumpai di Jakarta.


Tambo (cerita rakyat) Minangkabau menyebut Pariangan sebagai nagari tertua dan pertama di tanah Minang. Nagari adalah adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan yang khas di Sumatera Barat. Bahkan, nagari ini disebut-sebut merupakan asal-usul nenek moyang orang Minang.


Tempat ini juga dipercaya sebagai daerah tempat Sri Maharajo Dirajo memulai membangun Minangkabau hingga ke Luhak nan Tangah di Agam, dan Luhak nan Bungsu di 50 Kota. Dan, dari sini pulalah Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang yang melahirkan kelarasan Bodi Chaniago dan kelarasan Koto Piliang.


Masih menurut tambo, orang Minangkabau dipercaya berasal dari Gunung Merapi. Mereka pertama bermukim di Nagari Pariangan lalu berkembang ke wilayah-wilayah lain. Banyak situs-situs sejarah yang ditemukan di wilayah ini seperti Batu Tigo Luak, Balai Saruang, Prasasti Menhir, dan Sawah Satampang Baniah.


Tempat yang paling favorit di Nagari Pariangan adalah masjid tua yang terdapat di depannya kolam ikan, surau tua, dan bangunanbangunan tua. Disini juga terdapat pemandian air panas yang mengandung sulfur.


Tungku Tigo Sajarangan


Tempat terbaik untuk menikmati pemandangan di Pariangan adalah dari bukit bagian utara. Di situ terdapat Prasasti Pariangan. Prasasti ini berupa batu besar berbentuk segitiga yang dipagari besi. Batu-batu itu hanya sebagai filosofi semata. Ia sebagai perlambang. “Batu ini sebenarnya ada tulisannya, tapi sekarang sudah tidak terbaca lagi,” kata Hasril, penduduk setempat, menjelaskan.


Situ batu besar ini merupakan pertanda “Tungku Tigo Sajarangan”, yakni simbol menyatunya tiga kekuatan dalam tradisi Minang.


Pertama, alim ulama atau orang yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang keagamaan.

Kedua, cadiak pandai atau orang yang memiliki kemampuan berpikir strategis dan taktis. Terakhir, niniak mamak atau pemangku adat yang mengerti tentang seluk beluk adat Minangkabau

Dari lokasi ini, panorama ke arah Nagari Tua tergambar jelas. Di depan, berdiri Masjid Al Ishlah, masjid tua yang berusia ratusan tahun. Masjid ini berarsitektur ga ya dongson seperti bangunan-ba ngun an dari Tibet, dengan atapnya yang bertingkat-tingkat.

Inilah masjid yang menjadi sebuah pertanda bahwa “Tungku Tigo Sajarangan” memiliki akar kuat dalam masyarakat Minangkabau. Masjid Ishlah yang ada kolam ikan di depannya, tampak berada di sebuah lembah dengan sungai mengalir di depannya. Bila memandang dari atas bukit, tampak surau dan rumah-rumah penduduk yang berarsitektur khas Minangkabau.


Dari tebing sungai mengalirlah air panas yang berasal dari Gunung Merapi. Di belakangnya berjejalan bangunan-bangunan yang umumnya sudah tua, terlihat dari dinding dan atap sengnya yang menghitam. Bangunan berundak-undak mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit.


Tadinya, saya membayangkan pemandian air hangat itu adalah kolam besar tempat mereka yang datang bisa mandi bersama. Ternyata, beberapa tempat mandi itu hanya tepian sungai.


Ada beberapa lokasi mandi yang dipisahkan pria dan wanita. Antara lain Rangek Tujuah, Rangek Gaduang, Rangek Ilia, dan Rangek Subarang. Mandi air hangat seperti mandi di pancuran. Air jernih yang panas terus-menerus keluar dari tebing sungai.


Nagari Pariangan memang hampir ideal menggambarkan kehidupan masyarakat Minangkabau. Ada rumah gadang, rangkiang (lumbung padi), masjid, surau, kolam ikan, dan batang sungai. Masyarakatnya pun ramah. Alamnya indah dan subur.


Namun, menurut Dosen jurusan arsitektur Universitas Bung Hatta, Padang, Eko Alvarel, gambaran nagari yang ideal di Pariangan lambat laun memudar. Banyak rumah gadang kosong dibiarkan rusak karena banyak penduduknya yang pergi merantau meninggalkan kampungnya. Banyak kearifan lokal yang berubah karena masyarakat yang berubah dengan cepat. “Rumah gadang banyak yang kosong, surau-surau berubah fungsinya,’ katanya.

Tak jauh dari masjid kuno, kita bisa menemukan situs kuburan batu yang panjangnya mencapai lebih dari 25 meter. Lokasi kuburan itu terletak di lapangan yang agak berbukit. Nisan kuburan itu hanya berupa batu kali. Sekelilingnya ditumbuhi dengan bunga kamboja.

Di bagian timurnya, kuburan ditemukan delapan batu seperti tempat duduk (batu sandaran). Adanya batu sandaran itu menunjukkan bahwa lokasi itu pernah menjadi tempat untuk bermusyawarah.

Kuburan panjang itu dipercaya adalah makam Dt Tantedjo Gurhano. Ia adalah arsitek pertama Minangkabau. Dia lah yang membangun Balairung Sari Tabek.

Datuak Tantedjo Gurhano adalah orang yang pertama membuka sawah di nagari. Konon, dulu dengan seikat benih, ia bercocok tanam. Sawah itu sekarang dikenal dengan nama sawah satampang baniah (sawah yang padinya berasal dari seikat benih).

Balairung Sari yang dibangun Tantedjo Gurhano adalah balai adat. Usianya kini sudah ratusan tahun. Diperkirakan bangunan ini sudah ada sejak abad ke-18. Bangunan ini terletak Desa Balimbiang di Nagari Tabek, masih di Kecamatan Pariangan, tak jauh dari Nagari Pariangan. Untuk menuju tempat ini dari Nagari Pariangan, berbalik ke arah Batusangkar.


Sama dengan bangunan adat lainya, atap Balairung Sari berbentuk gonjong, berjumlah enam. Panjangnya mencapai 49,47 meter, dengan lebar 4,4 m. Tiangnya seluruhnya berjumlah 36 atau 18 pasang.


Lantainya berbentuk panggung dengan ketinggian 1 meter dari tanah. Bedanya dengan bangunan rumah gadang lainnya, bangunan ini tak memiliki dinding, tak berpintu dan berjendela, ruangnya dibiarkan begitu saja terbuka.


Bahan bangunan seluruhnya dari kayu dengan atap ijuk. Konon, sejak dibangun, hingga saat ini kayunya belum ada yang diganti. Keunikan lainnya adalah seluruh struktur bangunan dibangun tanpa menggunakan paku.

Balairung Sari yang dibangun Tantedjo Gurhano adalah balai adat. Usianya kini sudah ratusan tahun. Diperkirakan bangunan ini sudah ada sejak abad ke-18. Bangunan ini terletak Desa Balimbiang di Nagari Tabek, masih di Kecamatan Pariangan, tak jauh dari Nagari Pariangan. Untuk menuju tempat ini dari Nagari Pariangan, berbalik ke arah Batusangkar.


Sama dengan bangunan adat lainya, atap Balairung Sari berbentuk gonjong, berjumlah enam. Panjangnya mencapai 49,47 meter, dengan lebar 4,4 m. Tiangnya seluruhnya berjumlah 36 atau 18 pasang.


Lantainya berbentuk panggung dengan ketinggian 1 meter dari tanah. Bedanya dengan bangunan rumah gadang lainnya, bangunan ini tak memiliki dinding, tak berpintu dan berjendela, ruangnya dibiarkan begitu saja terbuka.


Bahan bangunan seluruhnya dari kayu dengan atap ijuk. Konon, sejak dibangun, hingga saat ini kayunya belum ada yang diganti. Keunikan lainnya adalah seluruh struktur bangunan dibangun tanpa menggunakan paku.


Balairung Sari, biasa juga disebut Balairung Panjang, terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh jarak selebar kurang dari satu meter yang disebut sebagai labuah gajah. Menurut cerita penduduk setempat, dulunya ruang pembatas ini yang digunakan sebagai tempat perhentian kendaraan raja-raja yang akan bermusyawarah di tempat itu.

Hingga kini, balai ini masih digunakan sebagai tempat acara adat atau musyawarah nagari. Di siang hari, banyak warga yang datang ke lokasi ini untuk sekadar mengagumi arsitekturnya yang unik, beristirahat, atau memancing di kolam yang ada di depannya.

Senandung Istana Pagaruyung

Istana Pagaruyung menjadi incaran terkait sejarah di belakangnya.

Nikmatnya Kawa Daun

Daerah Tabek Patah yang berhawa dingin cocok untuk menikmati minuman 

Dari Majapahit Hingga Belanda

Tidak ditemukan bukti sejarah yang mengaitkan keturunan Adityawarman dengan raja-raja Pagaruyung.

** Sumber Repubulik.

Posting Komentar

0 Komentar