menjala ikan (elo pukek). Beberapa tahun terakhir, investor datang, menyewa lahan-lahan di sepanjang pantai dengan berbagai cara dan pendekatan, serta membuat tambak udang dalam skala besar. |
Padang Pariaman,Editor -Ketika terjadi perubahan ruang pesisir, warga nelayan salah satu yang terdampak. Dulu, para nelayan di Kecamatan Sungai Limau, misal, bisa dengan mudah mencari ikan di tepian laut dengan menjala ikan (elo pukek). Beberapa tahun terakhir, investor datang, menyewa lahan-lahan di sepanjang pantai dengan berbagai cara dan pendekatan, serta membuat tambak udang dalam skala besar.
Ajo Pudin, menceritakan, berbagai perubahan ruang hidup sejak kedatangan para petambak udang. Tambak udang mencemari laut. Masyarakat, mulai terdampak setelah beberapa tahun tambak-tambak itu beroperasi. Akses terhadap sumber pangan makin terbatas.
Penulis sengaja survey lokasi nelayan di sekitar kawasan tambak udang di Sungai Limau, warga nelayan mendapatkan dampak langsung atas kerusakan ruang hidup, berbagai limbah bahan kimia berbahaya menjadi satu pemicu, misal, terhadap kesehatan.
Warga nelayan di Kecamatan Sungai Limau masih melakukan aktifitas melaut untuk menangkap ikan hingga saat ini. Setiap hari para nelayan itu berangkat ke laut sekitar pukul 05.00 WIB dan pulang sore hari pukul 18.30 WIB. Bahkan, nelayan menghabiskan waktu berhari-hari di tengah laut.
Puluhan kolam tambak udang yang berjejer sepanjang pesisir pantai Padang Pariamanselatan kini berdampak pada lautan. Limbah harian yang disalurkan melalui pipa dibuang begitu saja ke laut lepas.
Kondisi ini akan menyebabkan ikan menghilang dari habitatnya. Bahkan, sebentar lagi kita akan diperlihatkan dengan ikan mati mengambang di pinggir pantai. Kejadian tersebut kemudian disusul oleh keluhan nelayan yang kesulitan menjala ikan.
Fenomena tersebut diperkirakan terjadi akibat menurunnya kualitas air laut yang tercemar limbah. Tambak di sepanjang pesisir pantai di daerah itu tidak memberlakukan pengolahan kembali terhadap limbah yang dihasilkan, melainkan langsung dibuang ke laut.
Aktivitas seperti olah lahan, pemberian pakan, hingga pergantian air menjadi bagian dari kegiatan tambak yang menghasilkan limbah. Setiap harinya, peternak akan memberikan pakan yang memiliki kandungan protein hingga 38%. Imbasnya, hasil metabolisme udang yang diberi pakan ini menghasilkan senyawa nitrat, nitrit, amonia, karbon monoksida, dan lain-lain. Kandungan senyawa ini akan terakumulasi dan dalam kadar tertentu berpotensi mencemari lautan.
Pakan yang tidak dimakan akan mengendap, setiap hari di tambah lagi. Kemudian ada mikroba yang menghasilkan amonia. Nah, begitu dipanen, air bekas tambak ini idealnya harus diproses sebelum dibuang ke laut. Tapi kebanyakan justru langsung dibuang ke laut. Senyawa-senyawa tadi itu kemudian mengapung dan terbawa arus. Ketika ikan-ikan yang ada di laut memakan plankton tersebut, limbah pun ikut termakan dan meracuni ikan.
Salah satu langkah penting untuk mencegah kembali munculnya pembuangan limbah tidak bertanggung jawab, adalah merevisi kembali perizinan untuk membangun tambak di area pesisir. Penulis berasumsi, mayoritas pemilik tambak di pesisir pantai di daerah itu adalah korporasi besar.
Petani tambak di area tersebut merupakan masyarakat lokal yang tidak tahu menahu soal perizinan. Begitupun dengan pemilik tambak yang bukan masyarakat lokal. Hal ini menambah rumit masalah, karena korporasi tidak memperhatikan dampak lingkungan tempat tambak dibangun.
Ini perlu ada upaya untuk perizinannya. Karena kita tahu udang juga salah satu kebutuhan industri. Harga udang di pasaran, semakin banyak maka semakin murah. Jadi peternak banyak yang mengusahakan agar ukuran udangnya besar dan seragam, salah satunya dengan pakan tinggi protein tadi. Maka harus ada perizinan yang mengatur khusus tambak untuk mengolah kembali limbah yang dihasilkan sebelum dibuang ke laut.
** Syafrial Suger
0 Komentar