Pariaman,Editor- Malam itu di. Kantor PWI Kota Pariaman, langit begitu gelap tanpa bintang. Hanya angin dingin yang menyelimuti kota yang perlahan tertidur. Di ujung jalan yang sepi, seorang pria berdiri, menatap kosong ke arah trotoar yang sudah ia kenal dengan baik. Namanya Afridon, seorang yang telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya berjalan di jalanan itu, namun malam ini terasa berbeda
Afridon menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa lelah yang menggerogoti batinnya. Rutinitas monoton, mimpi-mimpi yang tak pernah terwujud, dan harapan-harapan yang kini terasa hampa, semua itu menciptakan beban tak terdefinisikan. "Untuk apa semua ini?" pikirnya, pertanyaan yang terus bergema dalam kepalanya.
Setiap pagi, Afridon bangun dengan perasaan kosong, memburu cerita untuk dijadikan berita yang terasa tak bermakna. Pulangnya selalu disertai rasa lelah yang tak kunjung hilang. Tak ada semangat, tak ada mimpi. Malam itu, Afridon merasa hidupnya seperti roda yang terus berputar di tempat yang sama, tanpa kemajuan, tanpa tujuan. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali merasa bahagia.
Afridon duduk di bangku taman di sisi jalan. Tangan kirinya memegang secangkir kopi yang mulai mendingin, sementara tangan kanannya mengusap wajahnya yang lelah. Ia menatap ke depan, hanya melihat bayangan masa depan yang ambigu. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia bisa melepaskan diri dari rasa lelah ini?
Malam semakin larut, dan Afridon tetap duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Angin dingin terus bertiup, seakan mengingatkannya bahwa dunia tetap berputar, bahwa waktu tak pernah berhenti. Tapi bagi Afridon, waktu seolah berhenti di momen itu, saat ia merasa tak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan.
Di tengah kesunyian itu, Afridon melihat seorang anak kecil melintas di seberang jalan, memegang tangan ibunya. Tawa kecilnya terdengar, mengisi malam yang sunyi dengan sedikit kehangatan. Entah kenapa, tawa itu membuat Afridon merasa hangat di dalam hatinya, sebuah perasaan yang sudah lama hilang.
Afridon tersenyum tipis, menyadari bahwa hidupnya mungkin tak seburuk yang ia bayangkan. Mungkin ada hal-hal kecil yang bisa membuat hidup ini lebih berarti, meski hanya sekejap. Mungkin, ia hanya perlu melihat ke arah yang berbeda, mencari kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.
Malam itu, Afridon bangkit dari bangku taman, melangkah kembali ke jalan yang sepi. Langkahnya masih berat, tapi kali ini, ada sedikit harapan yang tumbuh dalam hatinya. Mungkin, lelah ini hanyalah bagian dari perjalanan hidup, dan ia harus terus berjalan, meski perlahan. Karena di ujung jalan yang sepi, mungkin ada cahaya yang menanti
**Suger.
0 Komentar