Insiden Protokoler: Wartawan Dihalangi Saat Liputan HUT RI"l

Seorang pegawai protokoler yang dikenal dengan inisial "Ris" diduga menghalangi tugas wartawan saat meliput acara.


Padang Pariaman, Editor –  selalu menjadi momen yang sakral di Indonesia, ketika semangat kemerdekaan menyatukan bangsa dalam upacara dan perayaan. Namun, di tengah suasana peringatan HUT RI ke-79 di halaman Kantor Bupati Padang Pariaman, Sabtu, 17 Agustus 2024, terjadi insiden yang menyita perhatian, bukan karena upacaranya, melainkan akibat ketegangan yang terjadi antara seorang pegawai protokoler dan wartawan yang sedang bertugas.


Seorang pegawai protokoler yang dikenal dengan inisial "Ris" diduga menghalangi tugas wartawan saat meliput acara. Salah satu yang menjadi korban dari sikap ini adalah Yenni Laura, Pemimpin Redaksi Media Online Sumbar Today. Insiden ini bukan hanya sekadar pertikaian antara individu, tetapi mencerminkan isu yang lebih dalam tentang profesionalisme dan penghargaan terhadap peran media.


Ketegangan di Tengah Upacara


Ketika Yenni Laura, yang merupakan jurnalis berpengalaman, sedang meliput jalannya upacara, ia dihadapkan pada situasi yang tidak terduga. "Ris" meminta Yenni untuk tidak berada di tengah lapangan saat mengambil foto, meskipun Yenni sudah paham aturan peliputan di lokasi resmi. Respons Yenni yang tegas, "Saya tahu aturan, tidak mungkin saya mengambil foto di tengah-tengah upacara. Lagi pula, tidak ada larangan khusus di lokasi," memperlihatkan profesionalismenya sebagai wartawan yang selalu mematuhi kode etik dalam bekerja.


Namun, ucapan "Ris" yang dinilai merendahkan membuat suasana menjadi tidak kondusif. Yenni merasa terhina, apalagi dirinya merupakan sosok yang sudah akrab dengan lingkungan Pemkab Padang Pariaman, tempat ia bertugas hampir setiap hari. Tidak hanya Yenni, beberapa wartawan lain yang turut meliput, seperti Eva dan Yuzal, juga mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap tindakan "Ris."


Perilaku Tidak Profesional dan Implikasi Hukum


Sikap "Ris" dianggap tidak hanya menghambat tugas jurnalistik, tetapi juga mencerminkan perilaku tidak profesional dalam dunia protokoler. Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tindakan menghalangi tugas wartawan merupakan pelanggaran serius yang dapat berujung pada sanksi berat, termasuk denda hingga 500 juta rupiah. Hal ini seharusnya menjadi pengingat bagi setiap pegawai pemerintahan bahwa media memiliki hak untuk meliput dan menyebarkan informasi demi kepentingan publik.


Namun, insiden ini tidak berhenti di situ. "Ris" malah memperkeruh suasana dengan menyalahkan Diskominfo Padang Pariaman atas ketidakharmonisan yang terjadi antara protokol dan wartawan. Tuduhan ini hanya menambah ketegangan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai koordinasi serta komunikasi di kalangan internal Pemkab Padang Pariaman.



Para wartawan yang merasa kecewa berharap ada klarifikasi dari pihak protokol, serta tindakan nyata untuk memperbaiki hubungan yang retak ini. Insiden ini juga seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak di pemerintahan untuk lebih menghargai peran media sebagai pilar demokrasi dan menjaga komunikasi yang harmonis.


Sebagai garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada publik, wartawan harus mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Sikap arogansi dari pejabat yang menghalangi tugas mereka tidak bisa dibiarkan. Pemkab Padang Pariaman perlu melakukan evaluasi terhadap sistem kerja protokol agar kejadian serupa tidak terulang, serta membangun hubungan yang lebih baik dengan media.


Di tengah upaya membangun iklim demokrasi yang sehat dan terbuka, insiden ini menjadi pengingat bahwa kerjasama antara pemerintah dan media adalah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang lebih informatif dan teredukasi. Semoga kasus ini menjadi titik balik dalam menciptakan hubungan yang lebih baik dan saling menghormati antara protokol dan jurnalis di Padang Pariaman.


** Yeni Laura / Afridon


Posting Komentar

0 Komentar