Dibalik Kilauan Emas, AKP Dadang Tembak Mati Rekan Sendiri


Tambang Solok Selatan


Solok Selatan, Editor- daerah yang dikenal sebagai "Bukit Emas," menyimpan kisah kelam di balik kemilau kekayaannya. Wilayah ini bukan hanya menyimpan potensi alam berupa emas, tetapi juga menjadi saksi bisu konflik hingga tragedi. Fakta mencengangkan muncul setelah insiden penembakan yang melibatkan sesama aparat kepolisian pada 22 November 2024.Kisah Tragis AKP Dadang dan AKP Ryanto

Konflik berujung maut antara AKP Dadang Iskandar dan AKP Ryanto Ulil mengguncang Polres Solok Selatan. Kasus ini bermula saat AKP Ryanto menangkap seorang pengusaha tambang emas ilegal yang diduga dilindungi oleh AKP Dadang. Ketegangan memuncak ketika keduanya bertemu di Polres, hingga akhirnya berujung pada penembakan yang merenggut nyawa AKP Ryanto.

Menurut Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), insiden ini diduga kuat terkait kepentingan dalam melindungi aktivitas tambang emas ilegal. Peristiwa ini mengungkap sisi gelap dari dunia pertambangan di Solok Selatan.

Tambang Emas di Solok Selatan: Surga yang Terabaikan

Solok Selatan, yang membentang seluas 28.840 hektar, menyimpan potensi luar biasa dalam sektor pertambangan. Sejak masa kolonial Belanda, wilayah ini dikenal sebagai salah satu sumber emas terbaik di Nusantara. Bahkan, aktivitas tambang menghasilkan hingga 30 kilogram emas murni per bulan, menarik perhatian dari pelaku lokal hingga perusahaan internasional.

Namun, tidak semua tambang di Solok Selatan beroperasi secara legal. Tambang ilegal marak terjadi, bahkan hingga di aliran Sungai Batang Hari dan Sungai Batang Bangko. Menurut Walhi Sumatera Barat, ada setidaknya 28 titik tambang ilegal di wilayah ini. Sayangnya, banyak di antaranya tidak tersentuh oleh hukum, dan hanya pekerja lapangan yang sering menjadi kambing hitam.

Tragedi dan Dampak Lingkungan

Di balik kilauan emas, tambang-tambang ini menyisakan luka mendalam bagi lingkungan dan masyarakat. Longsor akibat aktivitas tambang ilegal telah menelan korban jiwa dalam beberapa tahun terakhir:

18 April 2020: Longsor di Ranah Pantai Cermin.

11 Januari 2021: Enam penambang tertimbun, empat meninggal.

10 Mei 2021: Delapan penambang tewas di Nagari Abai.

21 Agustus 2022: Tiga orang meninggal di bekas galian tambang.

30 Oktober 2023: Satu penambang tewas di Kimbahan, Nagari Abai.

Selain korban jiwa, tambang emas ilegal ini juga memperparah kerusakan lingkungan, mengakibatkan deforestasi, erosi, hingga pencemaran sungai. Ironisnya, lokasi tambang sering kali berada di tempat terbuka seperti pinggir jalan nasional, tanpa tindakan tegas dari aparat hukum.

Solusi yang Diperlukan

Kejadian tragis ini menjadi alarm bagi semua pihak untuk menata ulang pengelolaan sumber daya alam di Solok Selatan. Pemerintah daerah, aparat hukum, dan masyarakat harus bersinergi untuk:

Penegakan Hukum Tegas: Menangkap dan memproses hukum pemilik tambang ilegal, bukan hanya pekerja lapangan.

Reklamasi Lahan Tambang: Mengembalikan fungsi lahan yang rusak akibat aktivitas tambang.

Pendidikan Lingkungan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif tambang ilegal.

Pemanfaatan Legal yang Berkelanjutan: Mendorong tambang legal dengan regulasi yang ketat dan berbasis keberlanjutan.

Kemelut tambang emas di Solok Selatan adalah cerminan dari pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal. Di satu sisi, tambang ini menjadi sumber kekayaan; di sisi lain, ia menghadirkan konflik, korban jiwa, dan kerusakan lingkungan. Insiden tragis yang melibatkan dua polisi ini seharusnya menjadi titik balik untuk perubahan yang lebih baik di masa depan. Solok Selatan tak hanya butuh kilauan emas, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan

** tim

Posting Komentar

0 Komentar