Pekerjaan CV. Bumi Sumber Rezeki di Pariaman Mangkrak: Kegagalan Manajemen atau Kelonggaran yang Berlebihan?



Pariaman, Editor  — Proyek pembangunan jalan dan drainase lingkungan senilai Rp 2,5 miliar lebih di Kota Pariaman yang dikerjakan oleh CV. Bumi Sumber Rezeki kembali menuai kritik. Pasalnya, hingga lebih dari satu minggu pasca-berakhirnya masa kontrak pada 14 November 2024, pekerjaan tersebut b


elum juga rampung. Meski telah diberikan tambahan waktu (addendum), pertanyaan besar muncul: apakah ini murni kendala teknis atau kelonggaran dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menormalkan keterlambatan ini?

Dalam pantauan lapangan di Dusun Pasir Selatan dan Dusun Pasir Utara, Desa Pauh Barat, pekerjaan yang diamanahkan oleh Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup (DPRKPLH) Kota Pariaman tampak masih "terbengkalai." Kendati bobot pekerjaan diklaim mencapai 90 persen, fakta di lapangan menunjukkan bahwa fasilitas drainase dan jalan lingkungan belum dapat berfungsi optimal.

Deki Asar, PPK dari proyek tersebut, mengakui adanya keterlambatan. Ia berdalih bahwa kendala teknis di lapangan, seperti tumpang tindihnya pekerjaan pembangunan rumah dan sanitasi, menjadi alasan utama molornya proyek. Namun, kritik publik muncul karena tidak adanya sanksi denda atas keterlambatan ini, meskipun pelanggaran kontrak sudah terjadi.

"Kita sudah beri addendum waktu selama 14 hari. Kendala di lapangan bukan kesalahan rekanan, jadi tidak ada sanksi denda," ujar Deki dengan nada pembelaan.

Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah PPK terlalu longgar dalam menghadapi keterlambatan proyek yang menyangkut kepentingan publik? Apakah alasan "kendala lapangan" cukup untuk membebaskan kontraktor dari tanggung jawab penuh terhadap ketepatan waktu?

Menggali Akar Masalah

Proyek ini dimulai pada 18 Juli 2024 dengan waktu pelaksanaan 120 hari kalender. Namun, jika analisis perencanaan dan pengawasan dilakukan dengan cermat sejak awal, alasan seperti "gangguan bahan bangunan" dan "konflik antarpekerjaan" seharusnya bisa diantisipasi. Kegagalan dalam koordinasi antara pihak kontraktor, konsultan pengawas, dan PPK mencerminkan lemahnya manajemen proyek di tingkat institusi terkait.

Kelonggaran seperti ini berisiko menciptakan preseden buruk dalam pelaksanaan proyek pemerintah. Kontraktor mungkin merasa ada "zona aman" untuk tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, sementara publik dirugikan karena keterlambatan fasilitas.

Tuntutan Transparansi dan Ketegasan

Sudah saatnya Pemkot Pariaman memperketat pengawasan proyek-proyek infrastruktur, termasuk memberikan sanksi tegas terhadap kontraktor yang gagal memenuhi kewajibannya. Publik berhak mengetahui langkah konkret apa yang akan diambil jika proyek ini tetap tidak selesai dalam masa addendum.

Penambahan waktu tanpa konsekuensi denda dapat dilihat sebagai bentuk pembiaran yang melemahkan prinsip akuntabilitas. Apakah kelonggaran ini diberikan karena tekanan dari pihak tertentu, ataukah ini bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan aturan?

Harapan Baru, Manajemen Baru

Masyarakat berharap agar kasus ini menjadi pembelajaran. Bukan hanya untuk CV. Bumi Sumber Rezeki, tetapi juga bagi instansi pemerintah dan PPK dalam menjalankan peran mereka. Jika sistem manajemen proyek tidak segera diperbaiki, infrastruktur publik akan terus menjadi korban dari lemahnya pengawasan dan kurangnya penegakan hukum.

Pada akhirnya, masyarakat perlu memastikan bahwa janji penyelesaian dalam sisa waktu 14 hari benar-benar terealisasi, tanpa alasan dan drama baru. Karena proyek mangkrak bukan hanya soal jalan yang belum selesai, tetapi juga tentang kepercayaan publik yang dipertaruhkan.

Posting Komentar

0 Komentar