1.001 Malam Lokalisai Sintai batam Jumat 6 Desember 2024 |
Batam, Editor – Di balik gemerlap Kota Batam sebagai pusat industri dan perdagangan, lokalisasi Sintai—yang dikenal sebagai Pusat Rehabilitasi Sosial Non Panti (PRNSP) Teluk Pandan—menyimpan kisah panjang tentang permasalahan sosial yang tak kunjung usai. Pernah menjadi lokalisasi terbesar di Batam dengan sebutan "1.001 Malam," kawasan ini kini kembali jadi sorotan publik karena dugaan kasus perdagangan manusia.
Seruan untuk menutup kawasan ini datang dari berbagai pihak, mulai dari tokoh agama hingga pejabat negara. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa praktik prostitusi di Sintai masih hidup meski mulai kehilangan pamor. Batamnews menyusuri jejak kehidupan di lokalisasi ini untuk mengungkap cerita yang tersisa.
Dari Harapan hingga Kegagalan Perda
Awalnya, PRNSP Teluk Pandan dibentuk dengan tujuan mulia: melokalisir dan membina pekerja seks komersial (PSK) liar yang tersebar di Batam. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 6 Tahun 2002 mengamanatkan bahwa lokalisasi ini harus ditutup dalam waktu tiga tahun, atau pada 2005. Namun, realitas berbicara lain.
Selama lebih dari 15 tahun, kawasan ini justru berkembang menjadi pusat prostitusi dengan bar-bar tanpa izin. Kawasan ini menjadi magnet bagi PSK dari luar Batam, hingga melahirkan lokalisasi baru di sudut-sudut kota seperti Sei Panas, Bukit Senyum, dan Pokok Jengkol.
Potret Sintai Hari Ini
Siang itu, Sintai tampak sepi. Namun, sesekali pengunjung datang tanpa menunggu malam. Seorang penjaga pos memungut uang masuk sebesar Rp5.000 hingga Rp15.000 per orang untuk kebutuhan operasional kawasan. Di dalam, berdiri bangunan megah, bar-bar yang masih beroperasi, dan kamar-kamar yang disinyalir menjadi tempat eksekusi transaksi seksual.
Seorang pengelola bar menyebutkan, saat ini hanya ada sekitar 15 bar yang masih buka, jauh berkurang dibandingkan masa jayanya. Setiap bar menyediakan alkohol dan wanita penghibur, dengan tarif mulai dari Rp250 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung kesepakatan.
“Sekarang sudah sepi. Lima botol saja habis semalam, itu sudah bagus,” ujarnya pasrah.
Usaha Pemerintah: Sebatas Sosialisasi
Dinas Sosial Kota Batam memang rutin melakukan penyuluhan kesehatan bagi wanita-wanita di Sintai, termasuk pemeriksaan HIV/AIDS. Namun, upaya pembinaan keterampilan yang diharapkan dapat membuka peluang ekonomi baru masih minim.
“Dinsos hanya datang untuk penyuluhan dan vaksin. Tidak ada pelatihan seperti menjahit atau memasak lagi,” ungkap pengelola bar.
Kehidupan yang Tersisa
Dibandingkan masa lalu yang mencatat lebih dari seribu PSK, kini setiap bar hanya memiliki 5-6 wanita. Mereka tinggal di kamar-kamar yang menyerupai kos-kosan. Meskipun banyak yang berharap kawasan ini segera ditutup, sebagian besar pengelola pasrah dengan kondisi yang ada.
“Kalau ditutup, kami ikut aturan saja. Tapi tidak perlu digembar-gemborkan, sudah banyak yang tutup sendiri,” ucapnya.
Akhir Cerita yang Belum Jelas
Kisah Sintai mencerminkan dilema antara kebijakan yang tidak sepenuhnya efektif dan realitas sosial yang terus hidup. Dengan pengawasan yang minim dan tidak adanya solusi nyata untuk memberdayakan mereka yang terdampak, kawasan ini masih menjadi bayang-bayang kelam di balik citra Batam sebagai kota modern.
Apakah seruan untuk menutup Sintai akan benar-benar diwujudkan, ataukah tempat ini akan terus bertahan dalam keterasingan dan degradasi? Hanya waktu yang bisa menjawab
**
0 Komentar