Pertamina, Top Margotop: Liga Korupsi Kelas Sultan

korupsi di Indonesia memang penuh kalkulasi cerdik ala “pengusaha sukses

akarta – Editor. Dunia korupsi di Indonesia memang penuh kalkulasi cerdik ala “pengusaha sukses.” Kali ini, skandal oplosan BBM menambah daftar panjang kasus megakorupsi di negeri ini. Bayangkan, seorang pejabat Pertamina kedapatan mengoplos Pertamax menjadi Pertalite, lalu menjualnya kembali dengan harga premium. Seolah-olah sedang menjalankan bisnis “start-up” yang super inovatif.

Dalam kondisi ekonomi yang lesu—mall sepi, pertokoan tutup, pedagang kecil kesulitan modal, dan gelombang PHK di mana-mana—korupsi tetap subur. Dan bukan main-main, ini bukan sekadar permainan warung kecil yang mencampur minyak tanah dengan bensin seperti dulu. Ini operasi raksasa, dijalankan oleh para elite dengan keuntungan triliunan rupiah!

Kalkulasi ala Koruptor: Untung Triliunan, Penjara Cuma Formalitas

Di dunia bisnis normal, investor menghitung return on investment (ROI). Tapi di dunia korupsi, ada perhitungan “biaya masuk penjara” versus “keuntungan korupsi.” Misalnya, jika keuntungan dari permainan oplosan BBM ini mencapai Rp193,7 triliun dan hukuman maksimal hanya 10 tahun, mari kita hitung:

Keuntungan per bulan: Rp19,37 triliun ÷ 12 = Rp1,61 triliun

Keuntungan per hari: Rp1,61 triliun ÷ 30 = Rp53,7 miliar

Bayangkan, usaha apa yang bisa menghasilkan Rp53,7 miliar per hari?! Dengan angka-angka fantastis ini, mungkin para koruptor berpikir, “Ah, masuk penjara sebentar tak masalah. Toh di dalam juga bisa hidup mewah.”

Pertamina: Raja Baru Liga Korupsi

Kasus oplosan BBM ini sukses menobatkan Pertamina sebagai juara baru dalam “Liga Korupsi Indonesia” versi netizen. Bahkan, skandal ini berhasil menyalip megakorupsi lain seperti:

Kasus PT Timah – Rp300 triliun

BLBI – Rp138,4 triliun

E-KTP – Rp2,3 triliun

Dana Pensiun PT Asabri – Rp22,78 triliun

Setiap skandal memiliki strategi unik dalam menjarah uang negara. Para pemainnya? Pejabat berjas rapi dengan jam tangan mewah, yang tetap bisa tersenyum di depan kamera meski terbukti bersalah.

Modus Operandi: Dari Seminar Tertutup hingga Buku Panduan Korupsi

Para koruptor ini seolah memiliki buku saku bertajuk:

“Mengakali Sistem dan Menghindari Tangkapan KPK”

“Menikmati Hasil Korupsi di Balik Jeruji: Tips dan Trik”

“Mengelola Citra Pasca-Bebas: Dari Tahanan ke Tokoh Masyarakat”

Bahkan, tak heran jika ada “seminar-seminar tertutup” membahas teknik korupsi terbaru. Materinya bisa berupa:

“Cara Efektif Mengoplos BBM Tanpa Ketahuan”

“Strategi Menyembunyikan Aset di Luar Negeri”

“Mengendalikan Opini Publik dengan Buzzer”

Pesertanya? Tentu saja, para pejabat “inovatif” yang mahir mengutak-atik regulasi dengan sedikit sogokan kanan-kiri.

Solusi: Olimpiade Korupsi atau Tindakan Tegas?

Jika praktik ini terus dibiarkan, mungkin kita perlu mengadakan “Olimpiade Korupsi” dengan cabang seperti:

Lempar Berkas Kasus

Lari dari Tanggung Jawab

Senam Pencucian Uang

Namun, di balik sarkasme ini, satu hal jelas: penegakan hukum harus lebih tegas. Korupsi bukan sekadar lelucon, melainkan penyakit yang menghancurkan bangsa. Sayangnya, jika aparat hukum justru menjadi backing para pelaku, lalu kepada siapa rakyat harus berharap?



**Afridon


Posting Komentar

0 Komentar