Semarang .Editor- Di tengah kerumunan penumpang dan kilatan kamera di Stasiun Tawang, Semarang, Sabtu pagi itu, suasana berubah tegang dalam hitungan detik. Kunjungan kerja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang seharusnya menjadi momentum pemberitaan, justru berubah menjadi insiden mencoreng wajah institusi. Salah satu ajudannya, Ipda E, melakukan tindakan yang tak patut: mengeplak kepala jurnalis dan melontarkan ancaman di hadapan banyak saksi.
Makna di Tengah Mautnya Etika
Makna Zaezar, jurnalis foto LKBN Antara, saat itu hanya sedang menjalankan tugas: mengabadikan momen interaksi Kapolri dengan masyarakat. Namun, ruang liput yang sempit dan pengamanan ketat berubah jadi arena kekerasan.
Saat rekan-rekannya didorong secara kasar agar menjauh, Makna memilih menepi. Tapi di situlah pukulan itu mendarat di bagian belakang kepalanya. “Saya kaget, spontan bertanya kenapa. Tapi Ipda E justru marah-marah,” ungkap Makna dalam keterangannya ke media.
Ancaman yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
Lebih dari sekadar pukulan, kata-kata kasar ikut melayang. “Kalian dari pers tak tempeleng satu-satu,” begitu pengakuan Makna soal ancaman sang ajudan. Ucapan yang tak seharusnya keluar dari mulut seorang aparat negara, apalagi ketika berhadapan dengan pers yang menjalankan fungsi demokrasi: memberi informasi kepada publik.
Permintaan Maaf yang Terlambat
Malam harinya, Ipda E akhirnya datang ke kantor LKBN Antara di Semarang. Ia menyampaikan permintaan maaf secara langsung. Tapi bagi Makna dan komunitas jurnalis, maaf pribadi belum cukup. Ada luka institusional yang harus dijahit, dan itu butuh tanggung jawab dari level lebih tinggi.
Suara dari Antara: Jangan Hanya Maaf
Direktur Pemberitaan Antara, Irfan Junaidi, angkat bicara. Ia menyayangkan insiden itu dan mendesak Polri memproses pelanggaran tersebut secara transparan. “Ini harus jadi bahan koreksi. Kekerasan tidak boleh jadi norma saat menghadapi jurnalis,” ujarnya.
Polri Menyesal, Tapi Publik Menanti Tindakan
Pernyataan permintaan maaf juga datang dari Mabes Polri. Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko menyayangkan insiden ini dan menyebut akan ada penyelidikan serta sanksi jika terbukti pelanggaran.
Namun pertanyaannya tetap menggantung: akankah ini hanya jadi satu dari banyak kasus serupa yang menguap begitu saja?
Antara Tugas dan Risiko
Kejadian di Semarang membuka kembali luka lama soal relasi aparat dan jurnalis. Di medan liputan, kamera bukan senjata, tapi saksi bisu atas peristiwa. Sayangnya, justru kerap dianggap ancaman.
Jika institusi tak serius menindak, jangan heran bila di masa depan, suara kritis dibungkam bukan dengan argumen, tapi dengan pukulan
**
0 Komentar